Oleh: Musyafa Ahmad Rahim
Banyak teman-teman bertanya: boleh nggak kita melakukan kegiatan bakti sosial atau aksi kepeduliaan dengan maksud supaya partai kita dipilih dalam pemilu, atau supaya “jagoan” kita dalam PILKADA ditusuk, atau boleh nggak kita melakukan berbagai kegiatan supaya diliput media, masuk tivi, ditulis di koran dan semacamnya? Bukankah hal ini termasuk riyâ’ dalam arti beramal supaya terlihat orang lain, atau sum’ah dalam arti beramal supaya cerita tentang amal ini sampai dan didengar oleh banyak kalangan?
Jangan Nggembosi lah
Al-Qur’an banyak berisi ayat-ayat yang mendorong manusia untuk beramal, baik amal yang dilakukan secara terbuka dan terang-terangan maupun amal yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Di antaranya adalah Q.S. Al-Baqarah: 274.
"Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (2:274)
Di sisi lain, Al-Qur’an sangat mencela orang-orang yang berusaha menggembosi orang lain untuk beramal, dan Al-Qur’an Al-Karim menjelaskan bahwa cara-cara nggembosi ini adalah cara orang-orang munafiq, semoga Allah SWT hindarkan kita semua dari sifat, perbuatan dan cara-cara orang munafiq.
Adalah Q.S. At-Taubah: 79 yang menjelaskan demikian.
"(orang-orang munafik itu) Yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih." (9:79)
Secara garis besar, ayat ini menjelaskan:
1. Di antara orang-orang munafiq, ada orang-orang yang mencibir para sukarelawan dalam bersedekah.
2. Orang yang bersedekah banyak secara terbuka, sebagaimana dilakukan oleh Abdurrahman bin Auf, mereka cibir dengan pernyataan: “aah, itu kan karena riyâ’ dan sum’ah”.
3. Dan orang yang bersedekah sedikit, seperti yang dilakukan oleh Abû Aqîl Abdurrahman bin Tîjân, mereka cibir dengan pernyataan: “yach, sumbangan kok Cuma satu shô’ kurma, Allah SWT Maha Kaya, segitu itu apa artinya?”. Padahal, dalam rangka dapat menyumbang satu Shô’ ini Abû Aqîl “memaksakan” diri bekerja pada suatu malam (bukan siang), demi mendapatkan suatu upah, dan ternyata upahnya adalah satu shô’ kurma tadi, dan paginya, dia sumbangkan untuk perjuangan Rasulullah SAW. Kenapa Abû Aqîl “memaksakan diri”? sebab dia betul-betul ingin menyumbang, akan tetapi, dia tidak mempunyai apa pun yang bisa ia sumbangkan, maka, dia bekerja, walaupun harus di malam hari, demi “dapat menyumbang” dalam perjuangan. Seseorang yang ber-tadhhiyyah seperti ini, ternyata oleh orang munafiq dicibir.
Hal ini memberi pelajaran penting kepada kita, bahwa:
1. Allah SWT sangat menghargai orang yang bekerja, aktif dan berjihad dalam kerjanya ini.
2. Allah SWT sangat tidak menyukai orang-orang yang suka melakukan penggembosan terhadap orang lain untuk beramal.
Untuk itu, tidak usah lah kita meributkan tentang keikhlasan atau ketidak ikhlasan suatu amal yang dilakukan oleh orang lain, akan tetapi, adakah kita berada pada barisan orang-orang yang beramal?
Tentang keikhlasan, marilah kita introspeksi dan melihat diri kita sendiri, dan jadikan masalah keikhlasan ini antara kita dengan Allah SWT, kita tidak diminta untuk membedah hati orang lain untuk mengetahui adakah dia ikhlash dalam amalnya.
Positif Thinking Dalam Menilai
Rasulullah SAW juga mengajarkan kepada kita, agar dalam menilai suatu amal, hendaklah kita menilainya dengan mengedepankan penilaian positif dan membuang penilaian negatif, minor serta sinis. Kecuali bila suatu amal itu telah nyata-nyata negatif.
Diceritakan bahwa suatu kali Rasulullah SAW menceritakan bahwa ada seseorang berniat bersedekah pada suatu malam, dan ternyata, sedekahnya pada malam hari itu jatuh kepada seorang pencuri. Setelah dia mengetahui bahwa penerima sedekahnya adalah seorang pencuri, dia berkata: Allahumma laka al-hamdu (alhamdulillah). Besok malamnya dia bersedekah lagi, ternyata penerimanya adalah wanita pelacur, begitu dia mengetahui bahwa penerimanya adalah seorang peacur, dia berkata: Allahumma laka al-hamdu. Besok malamnya dia bersedekah lagi, dan ternyata penerimanya adalah orang kaya.
Semua sedekah yang “salah sasaran” ini ternyata semuanya diberi tafsir positif oleh Rasulullah SAW. Tentang pencuri yang menerima sedekah, ditafsirkan: semoga dengan sedekah itu dia tidak lagi mencuri, tentang wanita pelacur, diberi tafsir: semoga dengan sedekah itu dia tidak lagi melacur, dan tentang orang kaya: semoga dia mengambil ibrah .
Hadits ini memberi pelajaran kepada kita, hendaklah kita belajar untuk menjadi manusia-manusia yang lebih cerdas, pintar dan cekatan dalam memberi tafsir positif, agar manusia terpacu untuk beramal, dan janganlah kita menjadi bagian dari orang-orang yang memandang perbuatan dan ucapan orang lain dengan menggunakan kaca mata hitam, apalagi menggunakan kaca mata kuda, sebab, membangun motivasi orang untuk beramal itu jauh lebih sulit.
Penutup
Beberapa uraian di atas menggambarkan bahwa:
1. Menilai sesuatu itu memang gampang-gampang susah, oleh karena itu, serahkanlah masalah penilaian ini kepada Allah SWT, Dzat yang maha mengetahui segala rahasia. Pamrih atau tidak pamrih, itu bukan domain kita.
2. Belajar untuk possitive thinking itu sangat perlu, agar barisan orang-orang yang beramal semakin banyak.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan taufiq, hidayah dan bimbingan kepada kita untuk menjadi manusia-manusia yang mendengar berbagai pendapat, pandangan dan ucapan, lalu kita dibimbing oleh-Nya untuk mengikuti yang terbaik, amiiin.
Sumber : Website PKS Piyungan
Post a Comment